My Blog


Monday, August 20, 2012

Sebuah Kebersamaan Menuju Surga Allah

PERSELISIHAN yang terus bergejolak di internal umat Islam sering membuahkan beragam kesenjangan dalam pergaulan keberagamaan mereka. Perselisihan yang dahulu disabdakan oleh Nabi sebagai cahaya rahmat, seakan beralih kepada kegelapan azab yang tak kunjung sirna lantaran ketidakdewasaan keberagamaan berbagai pihak dalam menghadapi permasalahan yang ada. Tak jarang ada yang saling membodohkan, saling menyalahkan, saling membid'ahkan, bahkan saling mengafirkan yang pada akhirnya menyulut api "perang".

Sungguh ironis jika semua golongan yang terjebak sengketa itu mengihlaskan batinnya atas nama Islam, karena: benarkah begitu Islam mengajarkan?!

Makna persatuan dan persaudaraan yang diajarkan al-Qur'an dan al-Hadits seakan telah menyempal dari akal kewarasan publik. Entah kepentingan ataupun ketidakpahaman yang semakin memendungi nuansa kelesuan Muslimin era ini. Masing-masing mereka menyetir Hadits Nabi untuk tunggangan pribadi masing-masing saja, dengan sangat abai terhadap sendi-sendi kesantunan ihsani, yang pada akhirnya berimbas melumpuhkan kearifan sabda persatuan islami.

Rasulullah bersabda yang bermakna, "Sungguh akan terjadi pada umatku seperti yang telah terjadi pada Bani Israil; terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu golongan". Sahabat bertanya, "Siapakah (satu golongan itu) wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Golongan yang mengikutiku dan Sahabatku." (HR. Al-Tirmidzy).

Satu golongan itulah yang selama ini terus diperebutkan oleh setiap golongan. Pasalnya, setiap golongan saling mengaku dirinya sebagai golongan yang selamat dan menuduh golongan di luarnya sesat. Mirisnya, tak jarang sebagian kelompok menyamaratakan persoalan parsial (furû'iyyah) dengan persoalan fundamental (ushûliyah) dalam menghukumi kesesatan. Persoalan akut inilah yang oleh Sayed Segaf ibn Ali al-Kâf diupayakan jalan tengahnya sebagai solusi cerdas persatuan umat Islam. Dengan menyegarkan kembali pemahaman hadits friksi (iftirâq) tersebut di atas dalam bukunya "Haqîqah al-Firqah al-Nâjiyah".

Dalam buku setebal seratus sepuluh halaman itu, Sayed Segaf mengawalinya dengan mukadimah: pentingnya kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits serta mengritik para pendahulu yang telah menulis buku-buku sekterian (al-firaq wa al-milal), mejelaskan motivasi menulis karya tersebut, kemudian menerangkan maksud hadits friksi itu secara detil. Buah karyanya itu sangat kaya dengan data-data berbentuk riwayat. Barangkali inilah salah satu kelebihan buku ini, di samping ide cemerlangnya dalam mereinterpretasi hadits friksi itu sendiri. Sehingga buku ini sangat penting dibaca oleh setiap Muslim.

Mengritisi Buku-Buku Sekterian

Sebelum mengritik buku-buku sekterian (al-firaq wa al-milal), penulis terlebih dahulu mengajak agar segala persoalan yang diperselisihkan untuk dirujukkan kepada al-Qur'an dan al-Hadits. Penulis banyak menampilkan ayat dan riwayat terkait dengan hal ini. Di antaranya ayat 59, 65, dan 83 dari surat al-Nisâ', dan riwayat dari Ibn Abbas bahwa ia berkata, "Hampir-hampir kalian dihujani bebatuan dari langit; saya berkata dengan 'perkataan Rasulullah', kalian membantahnya dengan 'menurut Abu Bakr dan Umar'".

Kritik utama penulis (Sayed Segaf) terhadap para penulis buku-buku sekterian adalah kecerobohan mereka dalam megklasifikasikan sekte-sekte menjadi tujuh puluh tiga sekte tanpa adanya dalil yang jelas dan menjadikan sekte-sekte tersebut dalam wilayah umat ijabah (umat yang mengikuti dakwah Nabi). Argumen mereka hanya karena redaksi hadits menggunakan kata "ummaty: umatku", yakni menyandarkan kata "ku" kepada "umat" yang berarti menunjukkan umat pengikut Nabi. Padahal umat Nabi, hemat penulis, adalah seluruh manusia yang hidup pada masa risalah sampai hari kiamat. Mereka semua tidak ada yang selamat kecuali umat ijabah. Jadi yang terpecah belah adalah umat dakwah (umat yang belum mengikuti dakwah Nabi; sehingga harus diajak) yang keseluruhannya akan masuk neraka (hlm. 6).

Dalam pada itu, pendapat para pendahulu yang menjadikan perpecahan yang disuratkan hadits friksi itu terjadi pada umat ijabah akan mengantarkan kepada konklusi bahwa akhirnya tidak ada umat yang masuk surga. Karena setiap sekte-sekte Islam mengklaim dirinya sebagai golongan yang selamat (al-firqah al-nâjiyah) dan golongan di luarnya sesat dan masuk neraka. Jadi akhirnya tidak ada satu pun yang selamat. Dan ini bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadits.

Menyegarkan Kembali Tafsir Hadits Friksi (Iftirâq)

Penulis menampilkan semua riwayat terkait hadits friksi, yaitu riwayat al-Tirmidzy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Najar, dan Abu Ya'la. Dari riwayat-riwayat ini secara garis besar ada dua redaksi (matan) yang berbeda, yaitu yang maknanya:
"Sungguh akan terjadi pada umatku seperti yang telah terjadi pada Bani Israil; terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu golongan". Sahabat bertanya, "Siapa itu wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Golongan yang mengikutiku dan Sahabatku".
"Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian golongan, semuanya masuk surga kecuali satu, yaitu golongan
zindiq".

Kemudian dengan analisa cerdasnya, penulis mensintesiskan dua riwayat tersebut.

Menurutnya, umat Muhammad terbagi menjadi dua: umat dakwah dan umat ijabah. Telah maklum bahwa secara hakikat kafir itu satu, dan Islam juga satu. Apabila disebutkan adanya pluralitas dalam dua kubu tersebut, maka yang dikehendaki adalah apa tujuan penyebutan pluralitas itu: yakni siapa yang masuk neraka dan siapa yang masuk surga?.

Dengan begitu, siapa saja golongan yang berada dalam panji tauhid, maka dialah penduduk surga, dan yang berbeda dengannya berarti penduduk neraka, karena tempat kembali manusia hanya ada dua: surga dan neraka (hlm. 33).

Hakikat Islam itu satu. Kufur juga satu. Karenanya, maka terjadinya pluralitas dalam masing-masing kubu akan kembali ke hakikat awalnya. Islam memiliki ushûl (ajaran fundamental) dan furû' (ajaran parsial). Selagi pluralitas yang terjadi adalah dalam wilayah parsial, maka mereka tetap Islam. Karena ajaran parsial tidak bisa menganulir ajaran fundamental. Jika ajaran fundamentalnya selamat, selamatlah mereka dan masuk ke dalam umat ijabah, betapapun gamblangnya perbedaan terjadi dalam ajaran yang parsial, terlebih hanya sebatas perbedaan awal puasa dan hari lebaran.

Penulis lalu menjelaskan secara detil maksud hadits tersebut secara per parsialnya. Dengan begitu, pembahasannya terbagi menjadi beberapa bagian meliputi: pembahasan tentang Bani Israil atau Yahudi, maksud tujuh puluh golongan, terpecahnya Nasrani menjadi tujuh puluh dua golongan, perpecahan umat Muhammad menjadi tujuh puluh tiga golongan, makna millah (agama/sekte), hakikat umat yang mengikuti Nabi dan Sahabatnya (mâ ana 'alayhi wa aṣhâby), pembahasan neraka, surga, golongan jamaah, dan yang terakhir golongan zindiq.

Pada pembahasan "Tujuh Puluh Golongan", penulis sangat lantang menafsirkan bahwa bilangan tujuh puluh yang disebutkan dalam hadits bukanlah untuk pembatasan bilangan (li al-tahdîd), melainkan sebagai ungkapan bilangan banyak yang tak tertentu (li al-katsrah), dan ini banyak sekali dijumpai dalam Bahasa Arab, bahkan dalam beberapa redaksi al-Qur'an dan hadits itu sendiri. Seperti sabda Nabi "Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang….", atau sabda yang lain "Riba itu ada tujuh puluh sekian pintu….". Maka, penjelasan dalam hadits friksi itu bahwa kata tujuh puluh tersebut sebagai ungkapan orang yang tercengang melihat kenyataan bahwa umat manusia terpecah belah menjadi sekian banyak sekte agama.

Surga adalah tempat kembali bagi umat ijabah, walaupun terkadang sebagian orang dimasukkan neraka dahulu sebagai pembersihan dosa-dosa yang dilakoninya semasa di dunia. Mereka tidak kekal di neraka; masanya tergantung seberapa besar kadar dosanya saja, kemudian dimasukkan ke surga dengan rahmat Allah atau lantaran syafaat Nabi Muhammad. Lain halnya dengan nasib umat dakwah, mereka akan kekal di neraka sebagai ganjaran atas kekufurannya. Kekekalan inilah yang menurut Sayed Segaf dikehendaki dalam hadits friksi tersebut, yakni umat dakwah yang terpecah belah itulah yang masuk neraka untuk selama-lamanya.

Dalam pembahasan Neraka, ada yang menarik yang ditampilkan oleh penulis. Selain menampilkan siapa saja para penghuni neraka, baik yang kekal maupun yang sementara, penulis juga mengupas tentang status Muslimin yang tidak menggunakan syariat Islam, di samping melengkapinya dengan konteks apabila Muslimin dalam posisi lemah.

Kaitannya dengan yang kedua, penulis membahasnya dengan tajuk Berhukum dengan Undang-Undang Inggris di Negeri India. Secara utuh penulis membahasnya dengan nukilan dari pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang dituangkan dalam kitab al-Mannâr.

Kesimpulannya, Muslimin wajib hijrah dari negara itu apabila tidak bisa menjalankan syariat Islam, kecuali jika ada halangan atau kemaslahatan yang tidak menimbulkan fitnah agama, maka tidak mengapa dengan catatan undang-undang itu masih melindungi hak-hak kaum Muslimin dan kemaslahatannya, walaupun sebatas ala kadarnya.

Pemikiran penulis dalam menyegarkan kembali tafsir hadits friksi ini senada dengan pemikiran Abdullah ibn Mahfudz al-Haddâd, penulis buku al-Sunnah wa al-Bid'ah yang sangat masyhur itu.

Juga dengan Muhammad ibn Ahmad al-Syâthiry yang dituangkannya dalam karya al-Wahdah al-Islâmiyyah fî al-Mulhaq bi Durûs Ilmi al-Tawhîd.

Penulis berkesimpulan bahwa hadits friksi yang sering dijadikan tunggangan pribadi oleh masing-masing kelompok untuk menyematkan gelar al-firqah al-nâjiyah (golongan selamat) pada dirinya sebenarnya adalah hadits yang mengajak kepada "persatuan umat Islam", yaitu fakta bahwa seluruh pengikut Muhammad dan Sahabatnya (umat ijabah) adalah selamat dan menjadi penghuni surga, serta sebagai peringatan agar umat ijabah ini tidak berpaling kepada kekafiran umat dakwah yang terpecah belah itu.

Sebagaimana ayat dalam al-Quran, "Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu. Dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiyâ: 92). "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (QS. Ali 'Imrân: 105). "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (QS. Ali 'Imrân: 103).

Mari kita jadikan Idul Fitri kali ini sebagai momen untuk membatinkan kesadaran dan kedewasaan dalam keberagamaan kita, serta menyatukan persaudaraan iman untuk bersama-sama menuju surga Tuhan SWT. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H dan HUT Kemerdekaan RI ke-67.*/Pandi Yusron
Pimred Jurnal Sketsa Edisi-V PPI Yaman dan Ketua Penyelenggara Olimpiade Karya Tulis

-----------------------------

Judul Buku : Haqîqah Al-Firqah Al-Nâjiyah: Kullu Ummaty fî Al-Jannah Illâ Man Abâ
Penulis : Segaf Ibn Ali Al-Kâf
Penerbit : Dâr al-Qalam, Damaskus
Cetakan : Pertama, 1412 H / 1992 M
Tebal Buku : 110 halaman
Ukuran : 23.5 x 16.8

Red: Cholis Akbar

Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/24391/18/08/2012/sebuah-kebersamaan- menuju-surga-allah-.html

Monday, August 6, 2012

LAILATUL QADAR: Kapan Adanya dan Bagaimana Cara Mencarinya?



Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Mendapatkan Lailatul Qadar menjadi dambaan insan beriman, karena di dalamnya Allah turunkan rahmat dan keberkahan. Amal-amal ibadah dan shaleh yang dikerjakan di dalamnya, nilainya lebih baik daripada amal-amal tersebut dikerjakan selama seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar di dalamnya.

Di Lailatul Qadar tersebut, para malaikat turun ke bumi. Ada yang mengatakan mereka turun dengan membawa rahmat, keberkahan dan ketentraman bagi manusia. Ada yang berpendapat, mereka turun membawa semua urusan yang ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk masa satu tahun. Sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul." (QS. Al-Dukhan: 3-5)

Pada malam itu keamaan dan keselamatan menyatu dalam diri orang-orang beriman, dan mereka mendapatkan salam terus menerus dari para Malaikat. Para ahli ibadah merasakan ketentraman hati, lapangnya dada, dan lezatnya beribadah di malam istimewa itu yang tak pernah di dapatkan pada malam-malam selainnya.

Lailatul Qadar adalah malam yang terbebas dari keburukan dan kerusakan. Pada malam itu pula banyak dilaksanakan ketaatan dan perbuatan baik. Pada malam itu penuh dengan keselamatan dari adzab. Sedangkan syetan tidak bisa menggoda sebagaimana keberhasilannya pada selain malam itu, maka malam itu seluruhnya berisi keselamatan dan kesejahteraan. Firman Allah Ta'ala:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 5)

Kapankah Lailatul Qadar itu?

Tidak diragukan lagi, Lailatul Qadar terdapat pada bulan Ramadhan, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

"Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah: 185)

Al-Hafidh Ibnul Hajar rahimahullah mengatakan tentang penentuan malamnya, "Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan Lailatul Qadar dengan perbedaan yang sangat banyak. Setelah kami himpun, ternyata pendapat mereka mencapai lebih dari empat puluh pendapat." Kemudian beliau rahimahullah satu persatu dari pendapat tersebut beserta dalil-dalilnya. (Lihat Fathul Baari: IV/309)

Mayoritas ulama berpendapat, Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, berdasarkan hadits 'Asiyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)

Dari sepuluh hari terakhir itu, mayoritas ulama mengerucutkan pendapatnya pada malam-malam ganjilnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)

Demikian juga banyak dari mereka berpendapat, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27 Ramadhan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, seperti Ubay bin Ka'ab yang beliau sampai berani memastikan dan bersumpah bahwa Lailatul Qadar ada pada malam ke 27, ia berkata:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا وَأَكْثَرُ عِلْمِي هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

"Demi Allah, sunguh aku mengetahuinya dan kebanyakan pengetahuanku bahwa dia adalah malam yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam perintahkan kami untuk bangun (shalat) padanya, yaitu malam ke 27." (HR. Muslim, no. 762)

Dan dalam hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda tentang Lailatul Qadar,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

"Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh tujuh." (HR. Abu Dawud)

Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja. Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27, ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:

إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ

"Sungguh aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya. Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."

Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)

Demikian kumpulan hadits yang menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)

. . . Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. . .

syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram (Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke 21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23, maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang banyak dalam penetapannya."

Hikmah Dirahasiakannya Lailatul Qadar

Keberadaan Lailatul Qadar dirahasiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hikmah yang dikehendaki-Nya. Yaitu (boleh jadi) agar para hamba bersungguh-sungguh beribadah di setiap malam, dengan harapan agar mendapatkan Lailatul Qadar. Bagi siapa yang meyakini bahwa Lailatul Qadar ada pada malam tertentu, maka ia akan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah. Dan bagi siapa yang ingin memastikan dirinya mendapatkan malam tersebut, hendaknya ia mencurahkan semua waktunya untuk beribadah kepada-Nya sepanjang bulan Ramadhan sebagai bentuk syukur kepada-Nya dan membenarkan janji-Nya. Insya Allah, inilah hikmah utama dirahasiakannya Lailatul Qadar. Dan inilah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ وَإِنَّهَا رُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

"Sesungguhnya aku telah keluar untuk memberitahu kepada kalian (kapan Lailatul Qadar itu). Tetapi (di tengah jalan) aku bertemu dengan fulan dan fulan yang sedang bertengkar, sehingga aku terlupa kapan malam itu. Semoga ini lebih baik bagi kalian. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada (malam) kesembilan, ketujuh, dan kelima (dari sepuluh hari terakhir)." (HR. al-Bukhari)

Bagaimana Seorang Muslim Mencari Lailatul Qadar?

Lailatul Qadar adalah malam kebaikan, yang kebaikan di dalamnya tak bisa didapatkan pada malam selainnya. Maka siapa yang terhalang dari mendapatkan kebaikan di dalamnya, berarti ia telah terhalang mendapatkan semua kebaikan. Dan tidak terhalang dari mendapatkan kebaikannya, kecuali orang yang diharamkan dirinya dari kebaikan. Oleh karena, itu sudah sewajarnya seorang muslim menghidupkan malam tersebut dengan bersungguh-sungguh melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah dengan maksimal. Dan menghidupkannya harus didasarkan kepada iman dan berharap pahala kepada Allah. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesungguhan dalam mencari Lailatul Qadar ini telah dimulai sendiri oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang mengabarkan hadits di atas. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh (pad sepuluh hari terakhir) yang tidak biasa beliau lakukan pada malam-malam sebelumnya." (HR. Muslim)

Hendaknya seorang muslim memperbanyak shalat, tilawatul Qur'an, shadaqah, dzikir dan doa di dalamnya. Dianjurkan juga untuk menjauhi istri untuk memaksimalkan ibadah di malam itu, serta membangunkan keluarganya untuk ikut menghidupkan malam kemuliaan tersebut. Dikabarkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'Anha,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ - أَيْ الْعَشْرُ الْأَخِيرَةُ مِنْ رَمَضَانَ - شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

"Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, apabila sudah masuk sepuluh –maksudnya sepuluh hari terakhir Ramadhan- beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya." (Muttafaq 'alaih)

. . . Hendaknya seorang muslim memperbanyak shalat, tilawatul Qur'an, shadaqah, dzikir dan doa pada Lailatul Qadar. . .

Apa Doa yang Dipanjatkan Pada Malam Itu?

Dianjurkan untuk membanyak doa pada malam yang agung ini, Lailatul Qadar. Doa apa saja yang mengandung kebaikan dunia dan akhirat, dianjurkan untuk dimunajatkan kepada Allah di malam itu, karena ia termasuk waktu mustajab. Dan di antara doa khusus yang disyariatkan untuk dibaca di dalamnya adalah apa yang diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, ia berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca?" Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemaaf dan senang memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku." (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Imam al-Tirmidzi dan al-Hakim menshahihkannya)

Penutup

Insan beriman pasti meyakini setiap kabar berita yang disampaikan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Keyakinan tersebut tidak hanya pada pembenaran, tapi ia realisasikan dalam bentuk tunduk dan taat kepada petunjuk ekduanya. Begitu juga terhadap kabar berita tentang Lailatul Qadar, sebagai bentuk pembenarannya, ia bersungguh-sungguh menghidupakannya agar mendapatkan janji-janji baik di dalamnya.

Lailatul Qadar merupakan anugerah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Itu diberikan agar mereka bisa mengejar ketertinggalan dari pahala-pahala dan kebaikan yang luput darinya, dan juga untuk menghapus kesalahan dan dosa-dosa dalam perjalanan hidupnya. Allah sayang kepada kita, hamba-Nya yang beriman, akankah kita juga sayang kepada diri kita sendiri dengan memanfaatkan malam yang mulia itu? Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Sumber: http://www.voa-islam.com